Tujuan Rencana Redominasi Bank Indonesia


Redenominasi adalah penyederhanaan penyebutan satuan harga maupun nilai mata uang. tanpa mengurangi nilai dari uang. Nilai mata uang tetap sama meski angka nolnya berkurang. Misalnya, Rp1.000 menjadi Rp1, sedangkan yang semula Rp1 juta menjadi Rp1.000. Hal yang sama secara bersamaan dilakukan juga pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat tidak berubah. Sebagai contoh, premium semula Rp4.500 sekarang menjadi Rp4,50, atau mie bakso asalnya Rp17.500 per mangkok menjadi Rp17,50. Pada redenominasi nilai uang terhadap barang tidak berubah, karena hanya cara penyebutan dan penulisan pecahan uang saja yang disesuaikan.
Redenominasi rupiah bertujuan menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dan nyaman dalam melakuan transaksi. Kalau dulu pergi belanja membawa uang Rp10 juta harus bawa tas, sekarang cukup 10 lembar pecahan Rp1000 yang dapat dimasukkan ke dompet.
Tujuan berikutnya, mempersiapkan kesetaraan ekonomi Indonesia dengan negara regional dan meningkatkan gengsi mata uang rupiah terhadap mata uang internasional lainnya. Nilai tukar beberapa valuta asing terhadap rupiah yang sampai mencapai 4 atau 5 digit memberi kesan rupiah yang lemah. Coba kalau sekarang satu US  dollar nilai tukarnya menjadi Rp9,50, bukan Rp9.500, maka kesannya nilai rupiah kuat. Saat ini untuk kawasan Asia Tenggara hanya Indonesia dan Vietnam saja yang memiliki pecahan mata uang hingga lima digit.
Redominasi
Seratus Rupiah
Diluar manfaat-manfaat diatas, tidak banyak manfaatnya dari segi pertumbuhan ekonomi, pemerataan atau kesempatan kerja.
Redenominasi berbeda dengan Sanering, yaitu pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang. Hal yang sama tidak dilakukan pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat menurun. Sanering dilakukan karena terjadi hiperinflasi (inflasi yang sangat tinggi), bertujuan mengurangi jumlah uang yang beredar akibat lonjakan harga-harga. Pada sanering, nilai uang terhadap barang berubah menjadi lebih kecil, karena yang dipotong adalah nilainya. Pada tahun 1959, zaman pemerintahan Soekarno, pemerintah melakukan sanering. Uang pecahan Rp1.000 nilainya dipotong menjadi Rp10,-, dan pecahan Rp500 menjadi Rp5. Sedang untuk uang pecahan yang lebih kecil tidak dipotong nilainya. Sebagai gambaran gaji guru SD pada waktu itu sekitar Rp600.
Gubernur Bank Indonesia (BI), dalam beberapa kesempatan menyampaikan bahwa redenominasi tidak akan berdampak terhadap kenaikan harga-harga atau inflasi karena tidak akan ada penurunan nilai rupiah. Secara teoritis memang benar, namun tidak selalu demikian. Kenaikan harga-harga atau inflasi tidak selalu dipengaruhi oleh hitung-hitungan kuatitatif antara supplai uang dan suplai barang. Indflasi juga sangat dipengaruhi oleh ekpektasi dan sentimen pelaku pasar.
Meskipun sangat berbeda antara redenominasi dengan sanering, banyak anggota masyarakat yang nantinya belum dapat membedakan antara keduanya. Ketidaktahuan ini, begitu pula trauma sanering, bisa menimbulkan kepanikan bahwa uangnya akan merosot nilainya. Efek psychologi dari kepanikan membuat masyarakat “tidak percaya” memegang mata uangnya sehingga membelanjakan atau memborong barang seperti properti, emas, kendaraan dan barang berharga lainnya. Alhasil hukum penawaran permintaan terjadi dan harga-harga barang bisa naik. Penyebab lainnya bisa terjadi karena ulah pengusaha / pedagang yang mungkin “nakal” yang ikut-ikutan menaikan harga jual barang/jasa mereka karena beranggapan harga mereka terlalu rendah. Terakhir kenaikan barang yang menyebabkan inflasi bisa saja terjadi karena adanya fenomena pembulatan harga keatas, Barang-barang yang semula berharga Rp5.600-5.800, sekarang dipasang Rp6,-. Pembeli masih mengira ah cuma naik 40-20 sen.
Oleh sebab itu akan dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak agar tidak ada pihak-pihak yang mencuri kesempatan “menaikan harga” jual dagangan mereka karena tiba-tiba harganya “terkesan” murah. Contoh kita biasa makan steak klas kaki lima seharga Rp. 40,000 sampai dengan Rp. 50,000,-. Dengan adanya redenominasi mendadak harganya jadi “cuma” Rp.40-50 dan terkesan murah. Ketika harga steak dinaikkan menjadi Rp60-70 kita tidak segera menyadarinya bahwa harga sebenarnya sudah 70 ribu rupiah. Ini yang kemudian menjadikan hyper-inflasi.

Tinggalkan Komentar: